Wanted : Guru “Bercinta”

“Saya menulis judul artikel ini mungkin dipandang “agak gimana gitu”, tapi sengaja saya menulisnya demikian. Dengan alasan bahwa awalan “ber” memiliki makna memiliki atau mempunyai, seperti bertangan, beramal dan sebagainya. Mungkin juga tidak sesuai dengan EYD sehingga judul itu salah. Tapi, tak mengapa dan dengan senang hati atas segala masukannya.”
****
Hari itu cuaca cerah sedang menaungi SMA Antahbrantah. Para peserta didik sedang hilir mudik dengan kesibukan masing-masing, karena bel istirahat telah berbunyi. Ada yang ngobrol-ngobrol saja di kelas atau di depan kelang ke masjid untuk sholat dhuha ada juga yang sedang membeli somay. Beberapa siswa mencari guru mapel atau wali kelasnya untuk meminta remedi mapelnya.
Seorang peserta didik laki-laki, rambutnya kurang rapi, baju tidak dimasukkan mengetuk pintu ruang guru tempat wali kelasnya berada. Iapun menghadap wali kelasnya. Karena tak ada kursi, ia hanya berdiri di depan wali kelasnya yang sedang duduk.
“ Mana orang tuamu, San ?” tanya wali kelasnya
“ Nggak bisa datang bu”, jawab Santo singkat
“ Lho, udah berapa kali saya ngundang orang tuamu untuk datang kok selalu nggak bisa ?” tanya wali kelas lagi
“ Bapak ke luar kota, bu” jawabnya lagi
“ Ibu kemana ?” tanya wali kelas
“ Diklat ke luar kota juga” Jawabnya pula
“ Halah….kamu itu selalu buat alasan saja. Yang bapak pergi lah, yang ibu diklat lah, yang sakit lah, yang ini yang itu lah…terlalu pinter kamu itu buat alasan “ mulai naik suara sang wali kelas
“ bener bu….” Santo menjelaskan singkat
“ Nggak percaya…” kata wali kelas, sambil mendengus
“ gimana saya percaya sama kamu, coba liat bajumu ? nggak sopan ! ngadep saya aja nggak dimasukin, rambutmu itu pula acak-acakan. Kenapa nggak cukur ?” pertanyaan beruntun dari wali kelas
Sambil gelagepan mirip orang tenggelam, belum sempat ia menjawab, sang guru bertanya lagi, “ orang tuamu guru kan ?”
“ Iya, bu” jawabnya sedikit
“ Huoh…nggak tau malu. Apa kamu nggak malu punya orang tua guru, eh anaknya kayak gini. Kalau saya jadi kamu, taruh mana ini muka !!” pedas sekali pernyataan gurunya. Sedangkan guru yang lain di dalam ruangan itu, melihat semua ke arahnya. Tak ketinggalan siswa-sisw yang lain yang sedang remedial. Semua melihat Santo. Ia menunduk. Saat itu pula, si anak itu diam. Mungkin, lampu-lampu pijar di kepalanya langsung padam. Bahkan, bisa saja matahari yang seharusnya bersinar saat itu, langsung padam. Semua menjadi gelap karenanya.
***
Teman-teman guru yang dirahmati Allah SWT yang selalu bersemangat. Sepenggal kisah di atas mungkin akan membuat kita berfikir ulang dan merenungi tugas kita sebagai seorang guru saat ini. Apakah kita sering menjatuhkan peserta didik kita di depan halayak ? Pastilah kita sudah memahaminya, bahwa memvonis seseorang “negatif”, maka akan membuat mereka jatuh tersungkur atau bahkan membuat dinding/pembatas lebih tebal dengan kita sehingga akan menyuburkan sikap resistensinya kepada kita.
Mendidik manusia berbeda dengan mendidik binatang. Mendidik binatang yang tak berakal saja kita harus memiliki kepekaan yang tinggi. Rasa empati yang mendalam. Demikian pula harus dibingkai dengan rasa cinta yang amat sangat. Tentu kita tahu, anjing pelacak tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang rumit tanpa latihan yang lama. Dan pelatihnya tidak mungkin akan dapat melatihnya tanpa ada rasa kasih sayang dan cinta. Melatih Lumba-lumba sehingga mampu memukau para penonton juga membutuhkan cinta itu. Terlebih mendidik manusia yang memiliki rasa dan karsa. Tentunya, cinta itulah yang harus didahulukan.
Karena cinta lautan kan berapi. Demikian pula setinggi puncak everest akan didaki. Artinya cinta ini harus dan mutlak digunakan sebagai senjata untuk menakhlukkan para peserta didik kita. Cinta adalah milik semua orang. Dan semua memilikinya. Berarti, ketika kita mendidik mereka dengan cinta, maka mereka juga akan dengan senang hati menerima dengan cinta pula. Cinta berbalas dengan cinta.
Teman-teman guru, kita juga tahu bahwa Jika anak dibesarkan dengan celaan, Ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar menjadi rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, Ia belajar untuk menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan Ia belajar menjadi percaya diri Jika anak dibesarkan dengan pujian Ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, Ia belajar keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi dirinya Jika anak dibesarkan dengan cinta kasih sayang dan persahabatan Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan. (puisi karya : Dorothy Law Nolte) judul asli : Childern Learn What They Live Dari Mana anak Belajar ?)
Saya pikir bahasa Cinta adalah bahasa yang paling universal dalam mendidik. Sebab cinta merupakan amunisi jiwa yang sangat dahsyat yang mampu mengalahkan kedahsyatan topan tornado maupun ganasnya luapan lahar gunung merapi. Atas nama cinta, banyak orang (ibu) yang rela berkorban demi kemuliaan hidup anak-anaknya. Apakah Cinta ? Dalam perspektif psikologi, cinta diidentifikasikan sebagai energi kehidupan positif yang bersifat afektif (emosi) . Energi cinta akan membawa seseorang pada perilaku yang positip, karena dalam cinta tersebut terkandung unsur-unsur positip seperti keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, ketabahan, kejujuran, kepercayaan dan kesunguhsungguhan. Ketika energi cinta ini diimplemetasikan dalam mendidik anak-anak, maka guru harus berlaku ikhlas (lahir dan bathin), sabar dan penuh kasih sayang. Kasih sayang dalam kontek ini tidak berarti harus selalu memberi atau menuruti semua kehendak siswa kita, tetapi mempertegas sikap untuk memberi pelajaran pada siswa bahwa tidak setiap keinginan atau kehendak itu harus terpenuhi. Ketegasan tidak sama dengan kekerasan !! Karenanya terkadang kita tidak sabar dan ketidaksabaran serta ketidaktabahan ini menimbulkan konflik yang sering memicu timbulnya kemarahan, sehingga cinta yang semestinya menjadi energi positif berubah menjadi energi destruktif yang merusak sendi-sendi harmoni cinta guru dengan peserta didiknya.
Mari kita memulai dari diri kita, dengan memupuk kembali rasa cinta itu kepada peserta didik kita. Kita mulai peduli, dekat, bergaul (care) dengan mereka, karena bisa jadi si peserta didik tidak mau masuk ke dalam mapel kita karena ia tidak care dengan kita. Bisa jadi, kita sebagai guru malah menjadi musuh besar bagi mereka, sehingga kehadiran kita bukan menjadi obat malah menjadi sumber penyakit bagi mereka. Kita juga harus menarik perhatian (interest) mereka dengan gaya, metode dan teknik mengajar yang menyenangkan sehingga mereka sangat merindukan kita hadir di depan mereka.
Selanjutnya, saat kita mau mengungkapkan dengan kata-kata (notification) baik itu mengingatkan, mengarahkan dan membimbing maka kita gunakan kata-kata yang tepat, kata yang baik, dan lemah lembut. Dengan demikian mereka tidak merasa diadili, tidak merasa dijatuhkan malah mereka berterima kasih karena ada yang mengingatkan mereka.
Memberi dan menerima (give) sesuatu. Maksudnya adalah kita berikan yang terbaik untuk mereka, sesuatu yang tidak mereka dapatkan dari siapa saja bisa berupa motivasi, pengetahuan, teka-teki dll yang dengannya mereka merasa mendapat sesuatu yang lebih saat bertemu dan belajar dengan kita. Menerima (take) segala kekurangan mereka. Kita harus mampu memahami kekurangan mereka dan segala kelebihan mereka. Semua kelemahan mereka kita tutupi dengan kelebihannya, sehingga keburukannya tak terlihat lalu kita pupuk kelebihan mereka itu sehingga mereka menjadi orang yang baik.
Terakhir, mengapresiasi (apresiasi) atau penghargaan. Ini yang jarang dilakukan. Kita masih sering memvonis keburukan mereka dan jarang memberikan penghargaan. Sebenarnya konsep reward and punishment itu sangat pas, tidak bertentangan dengan jiwa manusia. Jadi, kita apresiasi semua kebaikan mereka. Minimal kita mengatakan kepada mereka, terima kasih, pertanyaan yang bagus, sip oke banget jawabanmu, tolong beri applaus kepada si Gogon dan sebagainya.
Saya yakin dengan CINTA ini kita bisa melahirkan generasi yang siap menjadi penerus bangsa ini. Dengan berbekal cinta pula mereka akan menjayakan bangsa ini. Itulah CINTA hasil perenungan saya Care, Interest, Notification, Take and Give dan Apretiation.
Wallohu a’lam bishowab

Jumat, 23:30

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *