Ilustrasi |
Pada suatu waktu saya berkesempatan untuk mengambil raport kedua anak saya yang duduk di Sekolah Dasar. Saya katakan berkesempatan karena tidak ada pembagian tugas tetap antara saya dan suami dalam hal rapotan ini. Siapa yang longgar waktunya maka dia yang kebagian jatah mengambil raport. Berbagi peran, berbagi tugas.
Acara pembagian raport diawali dengan pengarahan umum yang disampaikan Kepala sekolah. Dari apa yang dapat saya simak, beliau menyampaikan seputar hasil ujian para siswa yang nanti akan diterima bapak dan ibu wali murid, tentang ketercapaian KKM, dan himbauan agar kami para orang tua/wali murid memperhatikan hasil perolehan nilai anaknya dan jika ada kekeliruan silahkan menyampaikan ke pihak sekolah.
Acara kemudian berlanjut ke acara inti, yaitu pembagian raport di kelas siswa masing-masing. Sayapun beranjak menuju kelas anak saya. Saat memasuki ruang kelas, saya disambut dengan daftar siswa peraih peringkat sepuluh besar yang ditulis rapi di papan tulis, dengan keterangan lengkap nama siswa peraih prestasi, jumlah total nilai yang diperoleh plus rata-rata nilai lengkap hingga dua atau tiga digit dibelakang koma. Saya lihat beberapa wali murid mencatat apa yang tertulis dipapan tulis itu atau mengambil gambarnya lewat kamera ponsel.
Tak berselang lama, ibu wali kelas masuk dan memulai acara, setelah salam dan sedikit ramah tamah beliau menambahkan informasi mengenai siswa-siswa yang berhasil mempertahankan nilai dan rangkingnya pada semester tersebut, siswa-siswa yang naik ataupun turun dari peringkat sebelumnya, sekaligus tak lupa memohon maaf jika ada kesalahan penjumlahan nilai agar orang tua segera bisa melaporkan agar dapat segera diperbaiki atau direvisi.
Akhirnya acara pembagian report diakhiri dengan dipanggilnya para orang tua /wali murid satu demi satu ke depan untuk menerima hasil belajar anaknya tersebut.
Bagi orang tua yang sudah memiliki anak usia sekolah, pasti tidak asing dengan acara rapotan seperti yang sedikit saya dikisahkan diatas, bahkan terkadang harus mengkhususkan waktu tersendiri untuk acara penting ini. Tapi dari sekian kali pengalaman mengambil raport yang saya hadiri, mau tidak mau sedikit menyisakan pemikiran tersendiri dibenak saya terutama mengenai angka, nilai, rangking dan hal sejenisnya yang menjadi inti dari acara pembagian raport tersebut.
Banyak pakar pendidikan hari ini yang menyoroti tentang bergesernya orientasi belajar mengajar yang seharusnya untuk mentransfer ilmu dan membentuk moral/akhlak menjadi hanya bertujuan pada tercapainya nilai dan angka yang diinginkan.
Angka dalam dunia pendidikan kita menjadi sesuatu yang keramat. Ia diburu banyak orang. Siswa, orangtua dan guru menargetkan pencapaian nilai tinggi dalam ujian yang digelar sekolah atau pemerintah, bahkan dengan cara curang sekalipun.
Para siswa terjebak dalam kungkungan angka-angka, kemampuan diri mereka hanya diukur dari pencapaian nilai bukan dari kualitas diri, kemapanan moral dan intelektual yang memang dimiliki. Para guru pun lupa bahwa tugas mereka yang sejatinya adalah membentuk karakter, menanamkan akhlak dan menberi skill dan ilmu pengetahuan, yang terkadang tidak semua itu bisa dituliskan dengan angka-angka.
Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat untuk mematangkan fikiran, mengasah pengetahuan dan memuliakan diri dengan ilmu dan akhlak kini menjadi momok bagi siswa dan sekedar rutinitas agar angka dan nilai dapat terjaga dengan baik dalam ijazah dan raport.
Namun, di satu sisi kita juga dihadapkan pada suatu paradoks pendidikan. Nilai dalam ijazah yang selama ini diagung-agungkan oleh banyak orang, sering tidak bisa menggambarkan kemampuan yang sesungguhnya dan iapun tidak bisa menyelamatkan nasib seseorang. Betapa banyak lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang memiliki nilai-nilai tinggi, namun menjadi pengangguran.
Saya bukan orang yang terlalu mengerti apa yang dipahami para pengamat dunia pendidikan yang pintar itu. Dan saya juga tidak tahu tekanan dan tuntutan yang dihadapi para guru, orang tua maupun pihak sekolah dalam dunia nyata hari ini.
Namun jika besok saya berkesempatan mengambil raport anak saya kembali, saya hanya berharap agar tidak semata laporan perihal nilai dan angka yang saya dapatkan.
Terkadang saya ingin mendengar laporan tentang bagaimana anak saya bergaul dengan teman-temannya di sekolah. Dapatkah ia bergaul dengan baik? Egoiskah dia atau dapatkan ia bersahabat dengan gembira? Baikkah kata-katanya dengan teman sebaya? Pilih-pilih kah ia dalam berteman? Atau adakah ia melakukan bullying terhadap temannya seperti yang sering ada di sinetron??
Saya juga sangat ingin tahu, bagaimanakah perilaku anak saya terhadap guru-guru yang mengajar nya? Hormatkah ia? Taatkah ia? Atau adakah ia pernah menyinggung perasaan karena tindakan nya yang kurang sopan
Saya juga ingin diberitahu, dibalik nilai yang diperoleh anak saya, bagaimanakah sehari-hari ia saat di kelas? Sungguh-sungguhkan ia belajar? Pernah menyontekkah ia saat ulangan? Perhatiankah ia saat diajar oleh guru gurunya atau sibuk dengan dirinya sendiri ?
Saya juga sebenarnya sangat penasaran, bagaimanakah anak saya saat jam shalat di sekolah atau di jam-jam lain? Bisa kah dia shalat dengan baik atau main-mainkah dia saat shalat? Bisakah dia berwudhu dengan baik?? Atau ternyata sering dihukum karena terlambat agar berjamaah karena keasyikan bermain?
Dan masih banyak hal lain yang sebenarnya ingin saya ketahui tentang anak saya saat saya mengambil rapornya di sekolah. Yang bagi saya, itu sama pentingnya dengan nilai dan angka yang selalu diagung agungkan itu. Wallahu ta’ala a’lam bish shawwab
Ditulis oleh: ustadzah Ummu Ayyas (Penganjar Ponpes Darusy Syahadah)
Maa syaa Allah. Tabarakallah. Ust amar ya writingnya?