“Nanti dia besar kepala”
“Nanti dia tambah malas dan menyepelekan”
“Nanti dia jadi sombong”
“Nanti dia jadi arogan dan sok”
“Nanti dia tambah malas dan menyepelekan”
“Nanti dia jadi sombong”
“Nanti dia jadi arogan dan sok”
Mungkin kalimat itu adalah respon dari beberapa orangtua yang cukup berhati-hati dalam memberikan pujian kepada anaknya. Memang benar, apabila salah dalam memberikan pujian hasilnya bisa fatal. Pujian datangnya bukan hanya dari orangtua di rumah, tetapi bisa datang dari siapa saja, teman, guru, dan orang lain. Mereka semua bisa saja memberikan pujian yang salah. Apa fatalnya?
Cara yang salah dalam memberikan pujian bisa membuat anak menjadi malas, bahkan menjadi haus pujian. Hal ini bisa juga menjadi motivasi tersembunyi anak untuk melakukan apa saja demi pujian, dan jika tidak mendapatkan pujian seperti yang diharapkan maka bisa bermacam-macam variasi akibatnya, misalnya marah, frustasi, dan kecewa.
Jika pola ini terus terjadi dalam diri anak, maka hidup terasa sangat berat, dan tidak bersahabat bagi dirinya. Pujian akan terasa di hati, dan ini berbeda dengan makanan yang terasa enak di lidah. Karena terasa di hati, maka orang tidak bisa tahu apa kebutuhan hati anak (perasaan seseorang), karena isi hati manusia siapa yang tahu, dan ini tidak terlihat. Jika sudah sangat fatal, yang tampak adalah luapan emosi yang meledak dahsyat, misal menangis, berteriak, mengurung diri, dan sikap agresif lainnya.
Penelitian yang dilakukan Carol Dweck dan timnya selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan hal tersebut, ditulis dalam bukunya yang berjudul Mindset: The New Psychology of Success (2006). Dalam penelitian tersebut, sekelompok siswa kelas 5 di New York diberi 4 rangkaian tugas menyelesaikan puzzle.
Tugas pertama yaitu menyelesaikan sebuah puzzle yang sangat mudah. Setelah menyelesaikan tugas itu, satu kelompok diberi pujian atas kecerdasannya dan kelompok yang lain diberi pujian atas usahanya. Kelompok pertama mendapat pujian “Kamu cerdas sekali” dan kelompok kedua mendapat pujian “Usahamu luar biasa”.
Pada tugas berikutnya, kedua kelompok tersebut diberi 2 pilihan untuk menyelesaikan puzzle yang lebih sulit atau puzzle yang mudah seperti sebelumnya, namun dikatakan pada mereka bahwa mereka bisa belajar banyak dalam menyelesaikan puzzle yang sulit itu.
Dan ternyata 90% dari kelompok anak yang dipuji atas usahanya memilih tugas yang lebih sulit, sementara mayoritas kelompok anak yang dipuji cerdas memilih tugas yang mudah. Kelompok pertama yang diberi pujian “cerdas” lebih memilih untuk tampil sebagai anak cerdas, menghindari resiko tampak memalukan dan bodoh.
Pada tugas ketiga, kedua kelompok tidak diberi pilihan dan diharuskan menyelesaikan puzzle yang lebih sulit. Disana tampak sekali ekspresi ketegangan pada kelompok anak “cerdas”, mereka bingung dan berkeringat. Pada kelompok yang dipuji atas usahanya malah tampak semakin keras pada usaha mereka.
Pada tugas terakhir, kedua kelompok kembali diberi puzzle yang mudah seperti pada tugas pertama. Dan hasilnya terjadi peningkatan nilai sebanyak 30% pada kelompok anak yang dipuji akan usahanya, namun secara mengejutkan terjadi penurunan nilai pada kelompok anak “cerdas”.
Anak-anak dari kelompok itu mengasumsikan bahwa kegagalan hanya akan membuktikan bahwa diri mereka sama sekali tidak cerdas. Mereka tidak dapat merespons kegagalan secara baik dan positif. Kegagalan menyebabkan mereka menjadi ter-demotivasi.
Kini anda tidak perlu melakukan penelitian untuk membuktikan bahwa ada bahaya dalam memberikan pujian yang salah bukan? Lalu bagaimana yang benar? Pujilah PROSES bukan HASIL, pujilah UPAYA dan USAHA. Jika dia mendapatkan nilai 100 dalam ujian matematika, sebaiknya pujilah dengan “Hebat ya kamu, itu adalah hasil belajar disiplin kamu yah”, bukan “Hebat, nilai 100 itu baru anak mama, pintar kamu”.
Lalu bagaimana agar pujian menumbuhkan disiplin dan karakter yang baik? Berikut ada 7 panduan sederhana yang mudah untuk diterapkan baik di sekolah dan rumah.
Tulus, berikan pujian yang tulus, sesuai sebab dan situasinya. Misalnya “Terima kasih ya sudah menolong membuka pintu” atau “Terima kasih mau membantu angkat buku ini.”
Tulus, berikan pujian yang tulus, sesuai sebab dan situasinya. Misalnya “Terima kasih ya sudah menolong membuka pintu” atau “Terima kasih mau membantu angkat buku ini.”
Spesifik, pujian sebaiknya jelas dan detil. Misalnya “Cara kamu memakai baju bagus dan rapi, bajumu tidak terlihat kusut.” atau “Gambarmu bagus, mama suka dengan pilihan warnanya.”
Spontan, berikan pujian yang sehat kepada anak setiap saat untuk memunculkan karakter baik. Misalnya “Kamu rajin ya, setiap jam 7 malam PR dan tugasmu sudah selesai semua.”
Tidak ada pesan tersembunyi, pujian tidak dilakukan untuk menyindir orang lain, atau memanding – bandingkan. Misalnya “Kakak hebat deh juara paduan suara, adik belajar kaya kakak supaya juara nyanyi, kan keren kalau nanti bisa tampil di depan.”
Fokuskan pada keuntungan diri sendiri, arahkan pujian pada keuntungan dia memiliki sikap yang baik. Misalnya “Kamu rajin ya, jadi nanti kalau mau ada ujian kamu sudah siap, atau jika ada tes mendadak kamu sudah siap.”
Tidak memanipulasi, gunakan pujian dengan tepat, bukan untuk keuntungan orang lain. Misalnya “Anak cantik bisa tolong ambilkan handphone papa?”
Puji akan usahanya bukan hasilnya. Misalnya “Kamu tadi belajar pakai baju renang sendiri ya, hebat kamu” atau “Hei nak, tadi ayah melihat kamu membersihkan kotoran yang di ujung meja, hebat kamu mau belajar membersihkan.”
Semoga bermanfaat.