Ilustrasi |
Manusia memiliki dua kebutuhan utama: kebutuhan jasmani dan kebutuhan ruhani. Kebutuhan jasmani, antara lain, dipenuhi dengan asupan makanan dan minuman yang halal dan thayyib (bergizi, menyehatkan), olahraga, dan tidur yang cukup.
Sedangkan kebutuhan ruhani dapat dipenuhi, antara lain, dengan pendidikan, informasi, dan hiburan. Manusia sehat adalah manusia yang mampu menyeimbangkan pemenuhan kedua kebutuhan tersebut.
Pendidikan spiritual (tarbiyah ruhiyyah) termasuk ‘nutrisi bergizi tinggi’ yang sangat dibutuhkan oleh manusia sehat agar tidak menjauh dari hidayah Allah SWT dan hidupnya tidak mengalami disorientasi: cenderung materialis, sekuler, hedonis, dan sebagainya.
Pendidikan spiritual bertujuan menyehatkan hati dan pikiran, sehingga sikap dan perilakunya menjadi mulia dan rabbani, bukan hewani dan syaithani (berkelakuan seperti hewan dan setan).
Allah adalah Rabbul ‘Alamin (Pendidik semesta raya, termasuk manusia). Esensi dari pendidikan spiritual adalah penanaman dan pencerahan manusia dengan meneladani sifat-sifat Allah. “Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah” (HR Muslim).
Jika sifat-sifat Allah dalam al-Asma’ al-Husna (Nama-nama Terbaik) diteladani, niscaya manusia akan mampu mengontrol karakter kebinatangannya menuju integritas pribadi yang luhur dan akhlak mulia.
Karena itu, tindak kekerasan dan pelecehan seksual, terutama di lembaga pendidikan, semestinya tidak pernah terjadi jika manusia memiliki sifat al-Lathif (Maha Lembut), dan Ar-Rahman Ar-Rahim (Maha Pengasih Maha Penyayang).
Berbagai kasus malpraktik pendidikan, seperti kekerasan di lembaga pendidikan, lulusan Perguruan Tinggi yang kemudian banyak menjadi koruptor, semestinya dapat dieliminasi jika pendidikan spiritual efektif diinternalisasikan dalam siswa oleh pendidik yang berketeladanan moral yang luhur.
Pendidikan spiritual membekali siswa tidak hanya kognisi keagamaan, tetapi juga afeksi, apresiasi, dan aktualisasi nilai-nilai moral dan spiritual dalam segala aspek kehidupan.
Nabi Muhammad SAW pernah memberikan pesan berdimensi pendidikan spiritual yang sangat operasional. Sabda beliau, “Tebarkan salam, berikan makan, sambungkan tali silaturrahim, biasakan qiyamul lail (shalat malam) pada saat orang lain tidur, niscaya engkau akan dimasukkan oleh Allah dalam surga-Nya, Darus Salam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Jika diterjemahkan dalam kehidupan nyata, nilai pendidikan spiritual dalam salam dapat diaktualisasikan dalam bentuk nilai-nilai perdamaian, seperti: tegur sapa, murah senyum, ramah, semangat memberi pelayanan yang prima, tidak sinis, tidak emosional, mudah mengulurkan tangan, dan sebagainya.
Sementara itu ‘memberi makan’ dapat diwujudkan dalam sikap empati, solidaritas sosial, mau meringankan penderitaan orang lain, selalu berbagi, dan berusaha mencari solusi.
‘Menyambung tali silaturrahim’ dapat diaktualisasikan dalam bentuk: suka dan supel bergaul, berkomunikasi terbuka dan efektif, tidak bermusuhan, bersahabat, bekerjasama, saling melindungi, dan sebagainya.
Sedangkan ‘qiyamul lail’ sebagai bentuk spiritualisasi diri dapat diterjemahkan dalam perilaku yang selalu zikir kepada Allah, istiqamah dalam beribadah, tekun berdoa, ikhlas beramal, sabar dalam menghadapi cobaan hidup, dan sebagainya.
Idealnya pendidikan spiritual menjadi ruh (semangat, jiwa) dari sistem pendidikan nasional agar lulusan yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita tetap memiliki hati dan pikiran yang sehat dan cerdas.
Pendidikan spiritual merupakan benteng penangkal kapitalisasi dan sekularisasi pendidikan, termasuk ‘antivirus’ perilaku korup.
Pendidikan spiritual juga harus terintegrasi dalam semua mata pelajaran dan kurikulum pendidikan kita, sehingga semua pendidik, tenaga kependidikan, guru, pimpinan lembaga pendidikan, selalu menampilkan kepribadian dan keteladanan yang terbaik (uswah hasanah).
Pendidikan dengan keteladanan (at-tarbiyah bil uswah) merupakan prototipe atau model pendidikan yang paling ideal untuk masa depan bangsa kita. Pendidikan spiritual sudah semestinya menjiwai seluruh manajemen dan penyelenggaraan pendidikan di tanah air.