Sebagai salah satu kekayaan budaya Palembang dan sebagai jati diri Wong Kito (Melayu-Palembang), Baso Pelembang Alus (Bebaso) saat ini sudah hampir punah. Untuk itu perlu adanya usaha pelestarian dan mendokumentasikannya sebagai wujud kepedulian kita, diantaranya dengan mengadakan kursus atau menerbitkan buku kamur. Pepatah mengengatakan : “Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.”
Untuk menumbuhkan rasa sayang dan cinta kepada Kota Palembang, terlebih dahulu kita harus mengenal sejarah dan budaya Palembang, termasuk dalam hal bahasa. Asal-usul Baso Pelembang Alus hampir menyerupai bahasa Jawa, oleh sebab itu banyak orang berasumsi bahwa bahasa Palembang berasal dari Jawa. Namun pada dasarnya tidaklah demikian, bahkan sebaliknya, identitas Palembang sebagai korabolasi dari kebudayaan Melayu-Jawa terlepas dari sejarah Palembang itu sendiri. Menurut sumber sejarah lokal, Kesultanan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan-kerajaan besar dipulau Jawa. Seperti Kerajaan Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram. Palembang (Melayu-Sriwijaya) pada masa lalu adalah cikal bakal berdirinya kerajaan-kerajaan dipulau Jawa.
Dalam manuskrip sejarah Palembang diceritakan : Alkisah tersebutlah dalam satu masa di Bukit Siguntang duduk memerintah seorang raja bernama Raja Sulan yang mempunyai dua orang putra, masing-masing bernama Alim dan Mufti. Alim menjadi sultan setelah ayahandanya wafat, sedangkan Mufti menjadi sultan di Gunung Meru. Setelah Sultan Alim wafat ia digantikan oleh putranya tanpa melalui musyawarah dengan pamannya Sultan Mufti. Karena itu Sultan Mufti bermaksud untuk menurunkan putra Sultan Alim dari kedudukannya sebagai sultan di Bukit Siguntang.
Mendengar cerita tersebut maka putra Sultan Alim beserta rakyat dan pasukannya meninggalkan Bukit Siguntang menuju Indragiri. Mereka menetap di suatu daerah yang mereka pagari dengan uyung sebagai tempat pertahanan. Kemudian tempat tersebut bernama pagaruyung (Padang, Sumatera Barat). Setelah Sultan Mufti wafat, ia digantikan oleh putranya dengan pusat pemerintahan di Lebar Daun bergelar Demang Lebar Daun hingga tujuh turun lebih.
Demang Lebar Daun ini mempunyai seorang saudara kandung bergelar Raja Bungsu. Kemudian Raja Bungsu tersebut hijrah ke tanah Jawa, dinegeri Majapahit, bergelar Prabu Anom Wijaya atau Prabu Wijaya/Brawijaya sampai tujuh turun pula. Brawijaya yang terakhir memiliki putra bernama Aria Damar atau Aria Dilah dikirim ke tanah asal nenek moyangnya yaitu Palembang, ia dinikahkan dengan anak Demang Lebar Daun dan diangkat menjadi raja (1445 – 1486).
Ia juga mendapat kiriman seorang putri China yang sedang hamil, yakni istri ayahnya yang diamanatkan kepadanya untuk mengasuh dan merawatnya. Sang putri ini melahirkan putrj yang diberi nama Raden Fatah atau bergelar Panembahan Palembang, yang kemudian menjadi raja pertama di Demak. Pada saat Raden Fatah menjadi Raja Demak (1478 – 1518), ia berhasil membesarkan kekuasaannya dan menjadikan Demak Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Akan tetapi kerajaan Demak tidak mampu bertahan lama karena terjadinya perang saudara, setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, muncullah Kesultanan Pajang. Penyerangan Pajang ke Demak mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan ke Palembang. Rombongan dari Demak yang berjumlah 80 orang di kepalai oleh Sido Ing Lautan (1547-1552) menetap di Palembang Lamo (1 Ilir) yang saat itu Palembang dibawah pimpinan Dipati Karang Widura, keturunan Demang Lebar Daun.
Mereka mendirikan istana Kuto Gawang dan Masjid di Candi Laras (Pusri sekarang). Pengganti Pangeran Sido Ing Lautan adalah anaknya, Ki Gede Ing Suro (1552-1573), setelah wafat digantikan oleh Kemas Anom Adipati Ki Gede Ing Suro Mudo (1573-1630). Kemudian diganti saudaranya Sultan Jamaluddin Mangkurat II Madi Alit (1629-1630). Kemudian Sultan Jamaluddin III Sido Ing Puro (1630-1639). Sultan Jamaluddin Mangkurat IV Sido Ing Kenayan (1639-1650). Sultan Jamaluddin Mangkurat V Sido Ing Peserean (1651-1652). Sultan Jamaluddin Mangkurat VI Sido Ing Rejek (1652-1659). Sultan Jamaluddin VII Susuhan abdurrahman Candi Walang (1659-1706). Sultan Muhammad Mansyur (1706-1714). Sultan Agung Komaruddin (1714-1724). Sultan Mahmud Badaruddin (1724-1757), dst.
Pada abad ke-16 di Palembang mulai terbentuk dan tumbuh suatu pemerintahan yang bercorak Islam. Pangeran Aria kesumo (Kemas Hindi) pada tahun 1666 memproklamirkan Palembang menjadi negeri Kesultanan beliau bergelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam berkuasa (1659-1706). Dengan demikian Islam telah menjadi agama Kesultanan Palembang Darussalam dan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan ketentuan resmi hingga berakhirnya Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1823.
Dengan demikian jelaslah bahwa bahwa sejarah Melayu Palembang dalam perkembangannya dipengaruhi budaya Jawa , yang paling tidak masih dapat kita sekarang ini antara lain : Rumah Limas, pakaian adat, dan bahasa.
Bebaso Bahasa Palembang berasal dari bahasa Melayu Tua yang berbaur dengan bahasa Jawadan diucapkan menurut logat/dialek Wong Pelembang. Seterusnya bahasa yang sudah menjadi milik Wong Palembang ini diperkaya pula dengan bahasa-bahasa Arab, Urdhu, Persia, China, Portugis, Inggris, dan Belanda. Sedangkan aksara bahasa Melayu Palembang menggunakan aksara Arab (Arab-Melayu) atau tulisan Arab berbahasa Melayu (arab gundul/pagon).
Bahasa Palembang terdiri dari dua macam, pertama, merupakan bahasa sehari-hari yang digunakan hampir setiap orang di kota ini atau disebaut juga bahasa pasaran. Kedua, bahasa halus yang digunakan oleh kalangan terbatas (bahasa resmi Kesultanan). Biasanya dituturkan oleh dan untuk orang-orang yang dihormati atau yang usianya lebih tua. Seperti dipakai oleh anak kepada orang tua, menantu kepada mertua, murid kepada guru, atau antar penutur yang seumur dengan maksud untuk saling menghormati, karena Bebaso artinya berbahasa sopan dan halus.
Bahasa daerah Palembang boleh dikatakan bahasa yang mudah, dibanding dengan bahasa-bahasa daerah lainnya. Untuk bahasa sehari-hari (pasaran), hanya gayanya saja yang agak berbeda dengan bahasa Indonesia, dan beberapa kata atau istilah saja berlainan, kebanyakan huruf A diujung diganti dengan huruf O. Seperti “apa” menjadi “apo”, “nama” menjadi “namo” danseterusnya, karena itu orang-orang datangan di Kota Palembangini mudah sekali mempelajari dan memakai bahasa sehari-hari sebagai bahasa penghubung/komunikasi bagi seluruh daerah di Sumbagsel.
Namun walaupun demikian bahasa daerah sehari-hari itu ada gaya yang khas yang terkadang kentara sekali bagi orang baru memakainya terdapat kejanggalan. Sedangkan Bebaso adalah agak lebih sulit dan berbea sekali istilahnya dengan bahasa sehari-hari (Kromop Inggil). Sekarang ini sudah tidak banyak lagi Wong Pelembang bebaso, karena itu sudah jarang terdengar. Anak-anak muda boleh dikatakan banyak yang tidak dapat, begitu juga orang-orang dewasa.
Sehingga seolah-olah sekarang ini bebaso itu hampir hilang. Oleh sebab itu bebaso ini harus dibiasakan dalam pergaulan sehari-hari kepada siapapun sebab didalamnya terdapat norma, adab, dan sopan santun, sehingga bila dibiasakan akan mendatangkan kebaikan dan besar kemungkinana terhindar dari salah paham, tersinggung, cekcok, dan sebagainya. Bebaso juga enak didengar dan dipandang mata, karena penyampaiannya secara sopan dan halus, nada suaranya tidak tinggi, lembut, serta dengan sikap merendah. Contoh kedua bahasa Palembang Pasaran (P) dan Bebaso (B) :
P : Mang Cek, aku ni nak betanyo, dimanolah rumah Cek Awang?
B : Mang Cek, kulo niki ayun betaken, pundila rompol Cek Awanh?
(Paman, saya mau bertanya, dimanakah rumah Pak Awang?)
P : O, idak jao, parak rumah aku, itulah rumah Cek Awang.
B : O, nano tebe, pangge rompok kulo,nikula rompok Cek Awang.
(O, tadak jauh, dekat rumah saya, disitulah rumah Pak Awang)