Disorientasi Cita-cita

Oleh: Miarti
Dear Ayah Bunda.. Semoga pengasuhan kita kian berkah dan bermakna.
Ayah Bunda yang sama-sama memiliki impian. Terkait cita-cita atau masa depan buah hati, tentu kita punya keinginan besar untuk mengarahkan mereka sesuai apa yang kita impikan. Sebagai keluarga muslim dimana surga adalah cita-cita paripurna dan menjadi muara terindah dari sebuah perjalanan, tentu kita ingin agar mereka menjadi penghafal al-qur’an, menjadi pebisnis a La Rasulullah, menjadi pemangku kebijakan yang mampu me-madanikan masyarakat, menjadi panglima dakwah, dan berbagai cita-cita mulia lainnya.
Namun secara fakta, bermunculan fenomena dimana kemistri anak cukup kontrakdiktif dengan impian orangtua. Contoh sederhana misalnya, ada sebuah keluarga yang begitu “kencang” menyuarakan dakwah, namun salah satu putranya justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk bolak-balik ke studio musik bersama teman-teman band-nya. Bisa dibayangkan bahwa orangtua dari anak yang pilihannya demikian akan mengeluh dengan sebuah frasa; “Sakitnya tuh, disini…
Namun tak perlu heran bila suatu saat anak kita yang berusia balita tiba-tiba menyampaikan cita-cita yang –barangkali- sangat beseberangan dengan prinsip kita. Sebagai contoh, Fariza anak kedua saya, tiba-tiba melontarkan kalimat terkait cita-citanya; “Ummi… tahu nggak…? Dede mau menjadi penari balet…”
Singkat cerita, keinginan Fariza untuk menjadi seorang penari balet didapatkan setelah melalui obrolan bersama teman sekelasnya. Meski ingin sekali “tepuk jidat”, namun saya sadar bahwa saya tak bisa reaktif menyikapi apa yang dia ungkapkan. Saya harus mencari waktu yang tepat untuk menjelaskan. Di samping itu, sangat wajar terjadi pada anak jika mereka menyampaikan cita-cita yang “aneh-aneh” atau menyampaikan cita-cita berubah-ubah (inkonsisten) dari waktu ke waktu, atau menyampaikan cita-cita yang sifatnya imajiner. Contoh; ingin menjadi robot, ingin menjadi princess, dan lain-lain.
Kiranya, perlu seni tersendiri dalam mengantarkan anak-anak kita untuk meraih apa yang mereka impikan dan memiliki keselarasan dengan prinsip kita sebagai orangtua muslim dimana kita punya harapan besar bahwa apapun profesi mereka kelak adalah yang memiliki kebermanfaatan bagi ummat dan sarat dengan nilai-nilai dakwah.
Dan satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah bahwa cita-cita anak tak selamanya dapat linear dengan profesi orangtua. Orangtua yang ahli medis tak berarti jejaknya akan secara otomatis didalami oleh putra putrinya. Pun dengan orangtua yang berprofesi sebagai desainer, sebagai penulis, sebagai dosen dan profesi lainnya, tak selamanya refleks diikuti oleh anak-anak. Ini pun wajar adanya. Karena setiap diri memiliki kemistri masing-masing dan memiliki kecenderungan bakat yang tak selalu sama. Belum lagi pengaruh dari DNA atau bagian otak dimana keberadaannya memberi pengaruh terhadap perbedaan bakat dan minat.
Berikut beberapa hal yang perlu kita pelajari, supaya tak terjebak pada pemaksaan kemistri atau tak terlindas oleh kebebesan berekspresi.

  1. “Membeo” Tanpa Menginternalisasi

Hampir menjadi trend tersendiri di kalangan keluarga yang terhimpun dalam tarbiyah bahwa mengkondisikan anak menjadi seorang hafizh qur’an adalah cita-cita mulia. Mohon maaf dan tanpa bermaksud sedikit pun mengerdilkan arti meghafal al-qur’an, masih banyak orangtua yang kurang bijak dalam hal ini. Membiarkan anak belajar dengan target sedemikian tinggi tanpa memikirkan perasaan nyaman dan tidak nyaman. Bahkan pemaksaan menjadi kunci dalam mewakili dan merasionalisasi semua bujukan. Alhasil, dia mampu melampaui target, namun lupa akan hakikat dari isi al-qur’an itu sendiri. Atau dalam istilah lain, berhasil meraih sebuah kemampuan, namun tak diimbangi dengan internalisasi nilai-nilai. Sehingga yang muncul adalah skill yang mumpuni namun luput dari akhlak.
Analogi sederhananya adalah jika ada anak yang dikenalkan oleh gurunya sebuah lagu tentang wawasan keislaman. Misalnya, mereka dikenalkan dengan lagu tentang rukun islam, rukun iman, nabi-nabi, malaikat, dan atau semacamnya. Jika tanpa elaborasi makna dari syair yang disenandungkan, tentu anak-anak hanya dapat konteks “membeo” saja. Sementara mereka tak sampai pada kondisi paham bahwa iman kepada Allah itu seperti apa, meneladani rasul itu dengan cara apa, mengapa kita harus shalat dan tunaikan zakat, dan lain-lain. Padahal banyak sekali cara yang bisa kita eksplorasi untuk menyampaikan pemahaman se-elaboratif dan se-visual mungkin. Karena hakikat dari sebuah pembelajaran adalah bukan sesederhana mentransformasi, melainkan memberikan “navigasi” pada cara berpikirnya.

  1. Mengekor Tanpa Memaknai

Shidqi, sulung saya yang kini mau berusia 9 tahun, masih teguh dengan cita-citanya untuk menjadi seorang polisi. Saya menghormati pilihannya. Namun saya pun berhati-hati dalam mengarahkannya. Saya tidak berharap bila motif dia dalam mencita-citakan suatu profesi, semata-mata karena melihat profil. Ketepatan, keluarga besar suami saya adalah keluarga polisi dan ayah dari suami alias kakeknya Shidqi pun seorang anggota polisi. Saya tak ingin bila Shidqi hanya bermodal ikut-ikutan tanpa memaknai apa sebenarnya yang dia cita-citakan.
Secara objektif, saya pun beberkan sekian contoh oknum kepolisian yang berbuat sekehendak dan melabrak kode etik. Mulai dari polisi yang terjerat pada narkoba hingga superioritas yang sangat epidemik. Namun saya pun berusaha untuk adil dan mencoba memberikan sebuah “energi” untuk meyakinkan dan mendongkrak kepercayaan dirinya. “Jangan tanggung. Jadilah pejabatnya. Bukan hanya sebagai anggota. Agar dirimu mudah menyampaikan pesan kebaikan.” Demikianlah kira-kira kalimat yang saya sampaikan.
Menyampaikan kondisi objektif dari sebuah profesi, semata-mata supaya mereka dapat berpikir lebih rasional dan tidak terjebak pada konteks “ikut-ikutan”.

  1. Merujuk Tanpa Analisa

Cukup tipis perbedaan antara poin ini dengan poin sebelumnya. Namun yang dimaksud merujuk tanpa analisa adalah secara beramai-ramai mencita-citakan salah satu bidang tertentu. Entah karena secara alamiah menjadi “konsensus” tersendiri di daerah dimana mereka tinggal, atau lebih karena bidang tersebut menjadi trend tersendiri. Sebagai contoh, di sebuah daerah di Ciamis terdapat kampung yang mayoritas orangnya bermatapencaharian sebagai pedagang besi. Dahsyatnya, hampir semua pedagang besi yang menyebar ke berbagai kota besar tersebut mencapai angka penghasilan yang luar biasa. Dampaknya pun menggejala ke hampir semua anak laki-laki dengan beragam usia. Bahkan anak laki-laki yang masih dini sekalipun bercita-cita untuk menjadi penerus bapak atau paman atau tetangganya sebagai pedagang besi. Alasannya pun sangat pragmatis, dimana mereka menganggap bahwa untuk menjadi kaya, tak perlu sekolah yang tinggi-tinggi amat.
Perlahan namun pasti, mental seperti ini semakin menguat hingga anak-anak dan remaja di kampung tersebut tak merasa perlu terhadap sentuhan edukasi, baik secara formal maupun nonformal. Karena keberlimpahan materi menjadi segala-galanya.
Dan celakanya, para pedagang besi itu sendiri, baik yang sudah senior maupun yang belum terlalu lama menekuni, menyayangkan bila generasi setelahnya mengikuti jejak yang mereka lalui. Padahal, mereka yang sudah lebih menekuni bidang tersebut lebih berharap jika anak laki-laki yang ada di kampungnya itu bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin.

  1. Butuh Kondisi Alamiah untuk Membentuk Mereka

Sebuah harga mati dalam pendidikan anak adalah bagaimana mengkondisikan mereka secara happy. Atau dalam kata lain, mereka tak menyadari bahwa mereka tengah diarahkan pada suatu capaian, namun mereka tetap enjoy menjalaninya. Kita boleh berkaca pada anak-anak Palestina untuk poin yang satu ini. Mereka begitu ringan dalam menghafal Al-Qur’an, karena memang sudah sagat terbiasa dan bukan lagi menjadi sesuatu yang sengaja harus mereka tempuh. Mungkin seperti syair, dimana keberadaannya enak dalam pendengaran dan tanpa beban untuk disenandungkan. Sehingga dari sebuah pembiasaan mewujud sebuah kemahiran.
Demikian pula dengan anak-anak dimana orangtuanya memiliki sebuah perusahaan dengan manajemen yang mumpuni. Tanpa harus sengaja disekolahkan di lembaga pendidikan formal atau di sebuah jurusan yang memiliki korelasi dengan perusahaan yang dimiliki orangtuanya pun, anak tersebut akan secara alami menjadikan perusahaan orangtuanya sebagai laboratorium untuk dirinya bereksperimen dan berkarya. Dan bisa jadi, kemampuannya akan jauh lebih dahsyat dibanding dengan materi akademik yang dia dapatkan secara skolastik. Tentu saja, kondisi semacam ini akan didapat, jika orangtuanya mengkondisikan sedemikian rupa mulai dari penanaman mental dan pengenalan tanggung jawab.
Satu hal yang penting terkait cita-cita yang diinginkan anak adalah arahkan mereka pada KARAKTER, bukan sekadar pada PROFESI. Dan menjadi sebuah kesalahan bagi orangtua adalah bila mengorientasikan cita-cita hanya pada sebuah profesi tanpa mengorientasikan pada watak dan karakter. Dan bila demikian adanya, kelak anak-anak kita hanya terjebak pada sesuatu yang mekanistik. Sementara fitrah dari berkompetisi itu adalah mampu berpikir kreatif alias menghasilkan karya atau gagasan original dari suatu bidang yang digeluti.
Selanjutnya, penting bagi kita mendekatkan hal yang terkait dengan minat anak-anak. Mereka bisa dekat dan sangat dekat dengan cita-citanya bila sejak kecil diperkenalkan. Dan mendekatkan minat adalah salah satu bentuk konkretnya. Jika meminjam teori Cziksentmihalyi, dekatkan anak dengan alat musik sedini mungkin sehingga sistem sensorinya peka terhadap musik. Begitulah kira-kira menurut Cziksentmihalyi. Hal ini bisa kita korelasikan dalam pembentukan mereka. Jika kita ingin mengarahkan mereka pada sebuah cita-cita besar, maka dekatkanlah padanya berbagai keyakinan dan kemungkinan. Jika ingin mereka mendalami Al-Qur’an, maka dekatkanlah dirinya dengan Al-Qur’an sedini mungkin. Pun saat kita menginginkan anak kita menjadi seorang bisnisman/bisniswoman, maka latihlah mereka dengan dunia bisnis sedari awal. Biarlah predisposisi genetis mengemuka dengan sendirinya dan yakinlah bahwa kemistri itu bisa dibangun. Tentu saja, secara bijak, alamiah, dan tanpa ancaman.
Demikian yang saya sampaikan. Tetap berbesar hati untuk meraih mimpi. Ingat selalu pesona optimisme Rasul dimana pada saat kiamat sudah mendekat pun beliau masih menganjurkan ummatnya menanam kurma. Ini sebuah isyarat, bahwa manusia tak layak berhenti bercita-cita. Selamat menggandeng Ananda melampaui cita-cita besarnya. Alloohu ‘alam bish showaab. Semoga bermanfaat.

Sumber : http://www.al-intima.com/tarbiyatul-aulad/disorientasi-cita-cita

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *