Tips : Meredakan Emosi Anak

Memiliki anak, berjuta rasanya. Senang, terharu, sedih, jengkel, campur aduk jadi satu. Anak juga seperti individu dewasa. Dia memiliki keinginan, kebutuhan, serta emosi.
Terkadang kita dibuat bingung oleh tingkah laku anak yang menangis berjam-jam sambil berguling-guling atau mengamuk. Kita pasti bingung dan bertanya-tanya apakah itu merupakan sikap anak sesungguhnya atau anak sedang berpura-pura?

Jangan heran. Meskipun ukuran tubuhnya kecil, anak sudah memiliki naluri seperti orang dewasa. Mereka dapat bertindak dan berpikir mencari cara agar keinginannya dituruti atau menghindar agar tidak perlu mengerjakan sesuatu yang tidak diinginkan.

Bahkan, cara yang digunakan oleh anak lebih ekstrem daripada orang dewasa. Anak tidak peduli menangis sambil berguling-guling di lantai mal untuk mendapatkan mainan terbaru. Atau,  tak merasa malu pipis di celana, di tempat umum, agar ibunya meluluskan permintaannya untuk membelikan jajanan di pinggir jalan.
Konon, emosi yang tidak stabil menandakan penanganan pada anak yang kurang tepat. Ada orangtua yang berprinsip menangani anak harus keras agar anak tidak melecehkan orangtua. Ada juga orangtua yang memperlakukan anak bak raja dengan menuruti semua keinginannya tanpa kecuali. Padahal, cara penanganan yang baik pada anak adalah perpaduan antara sikap lembut dan tegas.
Berikut hal-hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi emosi anak.

1.      Menghadapi Anak Menangis
Menurut psikolog Steve Biddulph, anak yang menangis sebenarnya adalah bentuk usahanya untuk membuat kita terpojok hingga kita menyerah dan memberi perlakuan istimewa dengan cara memenuhi permintaannya.
Menangis di Sekolah
Pernah mengalami anak menangis saat tidak lagi ditunggui di dalam kelas, pada awal masa sekolah? Ada beberapa faktor penyebabnya. Pertama, anak belum siap bergabung bersama teman-teman barunya. Dia masih merasa asing berada di antara orang yang belum dikenal. Jika ini terjadi, anak hanya perlu waktu untuk beradaptasi. Untuk beradaptasi, ada anak yang memerlukan waktu singkat, ada juga yang memerlukan waktu lebih lama.
Kedua, sikap orangtua yang belum benar-benar tega meninggalkan anak keluar kelas karena terlalu menghawatirkannya. Cobalah untuk tidak bersikap atau berkata yang mencerminkan kecemasan seperti “Duh, kalau Mama nggak ikut di dalam kelas, kamu siapa yang jaga ya?”. Kata-kata seperti ini membuat anak menangkap nada kecemasan dan mengira kegiatan di dalam kelas adalah kegiatan yang perlu dicemaskan jika tidak ditunggui orangtua.
Menangis Saat Bermain
Ketika bermain bersama teman-temannya, terkadang anak mengalami konflik. Misalnya anak dikomentari tidak mampu memainkan suatu permainan. Akhirnya anak menangis sejadi-jadinya.  Jika ini terjadi, berilah kata-kata motivasi yang bisa membuat anak bersemangat kembali. Lalu, pada kesempatan berikutnya, ajak anak bicara mengenai permainan tersebut. Ajarkan bagaimana menggunakan mainan itu, mulai cara naiknya, cara memainkannya, juga aturan-aturan dalam permainan tersebut.
2.      Menghadapi Anak Marah
Marah sambil berteriak (bahkan mengamuk) merupakan tingkah yang didapat secara kebetulan. Awalnya anak tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan rasa kesal ketika berebut mainan. Akhirnya, merajuk dianggap cara yang efektif untuk mengekspresikan rasa kesal. Sikap marah yang berlebihan seperti menendang, memukul, atau melempar sesuatu, didapat dari mencermati lingkungan, termasuk dari tayangan TV. Lama kelamaan, cara-cara tersebut digunakan oleh anak dan bisa menjadi karakter yang melekat sampai dewasa.
Ketika sikap egois anak muncul, orangtua tidak boleh memarahi. Yang harus dilakukan adalah memberi pengertian pada anak bahwa dipukul itu rasanya sakit. Beritahu juga bahwa jika tidak ingin dipukul, jangan memukul. Lakukan langkah ini beurlang-ulang.
3.      Menghadapi Anak Pemalu
Sikap pemalu pada anak biasanya terbentuk oleh situasi antara ketidaksengajaan dengan pengkondisian. Sikap pemalu berawal dari rasa tidak percaya diri, takut berbuat kesalahan, dan tidak berani mencoba sesuatu. Ada juga yang berasal dari rasa takut melihat berbagai kejadian karena jarang berinteraksi dengan lingkungan di sekitar.
Sikap pemalu juga bisa tumbuh karena orangtuanya mengambil alih semua yang dilakukan anaknya, padahal anak sudah bisa melakukan sendiri. Akhirnya, anak merasa apa yang dikerjakan tidak berharga dan menjadi pemalu.
Contoh lain yaitu anak yang sebenarnya tidak pemalu menjadi pemalu karena ibunya sering berkata “Iya, nih, nggak mau ikut menyanyi di depan kelas. Malu, katanya”.
Cara menangani anak yang pemalu, biarkan dia mengekspresikan dirinya. Latihlah dengan memberi selembar kertas dan minta dia untuk menuliskan apa saja yang dia inginkan. Mengekspresikan diri ke dalam tulisan akan melatihnya menjadi lebih terbuka secara verbal dan pelan-pelan mengikis sifat pemalunya.
Biarkan anak melakukan sendiri segala sesuatu yang sudah bisa dilakukan sendiri seperti mandi, berpakaian, dan makan. Jangan terlalu banyak mengkritik atau berkomentar negatif agar anak tidak memilih cari aman dengan berdiam diri.  Sebaliknya, berilah pujian atas apa yang bisa dilakukannya.
Mendongeng, mengajak berolah raga, mengobrol saat makan bersama, dan memperingati hari istimewa anak akan membuat sikap pemalu anak perlahan-lahan luntur.
4.      Mengajarkan Anak Menjadi Mandiri
Melihat anak bisa makan, mandi, berpakaian, dan mengerjakan PR sendiri membuat ibu sangat bahagia. Untuk membuat anak menjadi mandiri memang memerlukan usaha khusus. Paling tidak, ada aksi yang dilakukan.
Bila anak tidak mengerjakan PR, biasanya orangtua khawatir nilai akademis anak akan menurun. Sayangnya, anak-anak paling susah kalau diminta mengerjakan PR. Ada saja alasan yang dikemukakan. Ngantuk, capek, ingin main, ingin nonton, mau pergi mengaji, merupakan beberapa alasan yang dilontarkan saat orangtua menyuruh anak membuat PR.
Sebagai orangtua, yang perlu dilakukan adalah pendekatan personal. Dekati anak dan ajaklah bicara tentang hal-hal yang menyenangkan. Setelah itu, arahkan anak untuk mengerjakan PR. Jangan lupa, temani anak sampai PRnya selesai. Orangtua yang hanya menyuruh mengerjakan PR tetapi tidak mendampingi, membuat anak merasa PR bukan sesuatu yang penting dikerjakan karena orangtuanya tidak memberi perhatian penuh. Ada juga anak yang menolak mengerjakan PR karena tidak mengerti PRnya. Dengan mendampinginya, orangtua bisa menjelaskan tentang PR tersebut.
Arahkan anak untuk bisa melakukan hal-hal sederhana, sesuai umurnya. Misalnya, ajarkan anak usia lima tahun untuk memakai atau melepas baju sendiri atau mencontohkan membereskan mainan. Untuk anak yang sudah lebih besar (10-12 tahun) bisa mulai diajarkan mencuci piring dan menyiram bunga.
Intinya, sebelum berbicara mengenai aturan, ajaklah anak berkomunikasi dengan tenang, alihkan perhatian anak pada sesuatu yang lebih menarik, dan tegur dengan cara halus.
5.      Mengajarkan Anak Menjadi Pemaaf
Anak, terutama balita, masih mudah disugesti. Juga mudah untuk diajak berbuat baik.
Banyak orangtua yang menggunakan cara marah atau melakukan kekerasan untuk menyadarkan anak. Akibatnya, anak akan meniru sikap seperti ini. Sebaliknya, jika anak menyelesaikan masalah dengan cara marah, orangtua jangan ikut-ikutan marah.
Ketika orangtua bersikap tenang dalam menyelesaikan masalah, anak akan memandang sikap itu sebagai penyelesaian masalah dengan cara yang berbeda. Dengan demikian, anak tidak akan menyimpan rasa kesalnya dalam waktu lama. Sebaliknya, anak akan melupakan penyebab kemarahannya.
Dari sinilah orangtua bisa mengenalkan kata maaf. Kesalahan yang diperbuat orang lain, baik disengaja maupun tidak, harus dimaafkan. Jelaskan juga pada anak bahwa sikap tidak mau memaafkan hanya akan membuat dirinya tersiksa.
Berikan pengertian ini berulang-ulang dan selalu berikan contoh melalui sikap. Mumpung anak masih bisa disugesti dan mudah “dibentuk”.

Sumber : http://batikindonesia.com/88/368/5-cara-menghadapi-emosi-anak/

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *