Agar Anak Berani !

Hiiii, awas kalau main ke dapur sendirian nanti diculik hantu!” Meski jelas-jelas berdampak buruk namun kalimat-kalimat yang bermaksud menakut-nakuti si kecil itu masih kerap kita dengar; entah dari pengasuh, kakak si kecil, tetangga atau lainnya. Apa yang bisa kita lakukan agar si kecil tetap menjadi anak pemberani dan tak mempan di takut-takuti?
Rasa takut sebenarnya merupakan hal wajar dan alamiah. Emosi dasar yang bersifat universal ini akan selalu ditemui pada setiap orang dan sudah ada sejak lahir karena diperlukan untuk kewaspadaan diri dan dapat membantu individu melindungi diri dari bahaya. Anak yang tidak memiliki rasa takut justru perlu dicurigai karena ia tidak akan bisa mengenal bahaya bagi dirinya.
Nah, rasa takut di usia batita masih sebatas pada hal-hal spesifik seperti takut pada hewan tertentu (misalnya anjing, kucing, cicak, ayam) atau takut pada suatu kondisi (gelap, suara keras seperti halilintar, atau takut pada orang asing).

HILANG ATAU BERKEMBANG
Umumnya rasa takut pada objek tertentu tadi akan menghilang sendiri seiring perkembangan anak dalam berpikir logis. Namun, pada beberapa kasus, ketakutan anak bisa juga berkembang menjadi tidak wajar dan irasional (fobia). Nah, berkembang tidaknya ketakutan ini tergantung pada karakteristik anak dan juga faktor lingkungan sekitarnya. Bagaimanapun, “kadar” ketakutan berbeda-beda pada setiap anak. Ada anak yang ditakut-takuti lalu jadi bertambah takut. Namun ada anak yang meski ditakut-takuti tetap saja berani, karena pada dasarnya si anak memang berani. Faktor lingkungan seperti sikap orangtua yang overprotektif dengan sering melarang anak, cara orangtua menakut-nakuti, dan sebagainya juga turut berperan dalam berkembang tidaknya ketakutan pada anak. Kalau cicak selalu dijadikan “senjata jitu” agar si kecil patuh, bisa jadi ketakutannya pada cicak akan menetap dan berkembang menjadi fobia.

MEMBENTENGI DARI TAKUT
Lalu bagaimana agar anak tak terpengaruh bila ditakut-takuti oleh lingkungannya, tentunya orangtua pun perlu membekali anak dengan keberanian. Caranya antara lain:
· Jangan gunakan cara menakut-nakuti anak dalam melarang atau mengancamnya dalam keseharian.
· Jangan tularkan rasa takut pada anak. Penting bagi orangtua untuk mengontrol rasa takutnya. Ingat sikap orangtua akan dicontoh anak. Bagaimana anak diharapkan tidak takut bila orangtuanya sendiri takut pada sesuatu.
· Beri penjelasan secara konkret dan sederhana bila ada yang ditakuti. Misalnya, kamu tidak boleh keluar rumah karena sudah malam, nanti kamu tidak bisa tidur dan bermimpi buruk.
· Hindari anak dari hal-hal yang membuatnya takut. Termasuk tontonan atau pembicaraan yang membuatnya takut.
· Agar anak tidak terpengaruh konsep yang salah bisa dibelikan buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu, peri, atau penyihir yang baik hati. Kalau anak takut pada salah satu hewan tertentu semisal anjing atau kucing, berikan buku-buku mengenai keistimewaan hewan-hewan tersebut sebagai pengetahuan.

MENGEMBALIKAN KEBERANIAN
Bila anak sudah telanjur sering ditakuti dan akhirnya jadi penakut, maka untuk mengembalikan keberaniannya lakukan langkah-langkah ini:
* Cari tahu sumber ketakutannya.
Bisa saja anak secara spontan mengatakannya atau bercerita tentang suatu hal saat bermain. Sementara orangtua mungkin tak segera menyadari bahwa apa yang dikatakan/diceritakan merupakan sumber ketakutannya. Memang perlu kejelian dalam hal ini.
* Lakukan komunikasi terbuka.
Cara ini amat penting karena dapat mendorong anak untuk selalu mengekspresikan perasaannya.
* Ajak anak untuk berpikir nalar dan kritis
Jika ada yang menakuti si kecil, ajari anak untuk berpikir kritis. Berikan penjelasan yang sederhana, konkret, dan masuk akal. Sehingga anak bisa menerima dan memahaminya. Misalnya, anak takut hantu, maka orangtua dapat membantu anak berpikir nalar dengan memberi pengalaman sebagai bukti. Kalau anak takut gelap karena selalu ditakut-ditakuti bahwa ruangan gelap dihuni hantu, coba temani anak di kamarnya yang sengaja digelapkan. Buktikan bahwa dalam gelap tidak ada sesuatu pun yang terjadi pada dirinya dan tidak ada hantu yang datang. Contoh lain, anak takut kucing. Beri pengalaman dengan mengajaknya mengelus kucing dengan lembut. Buktikan kalau hewan tersebut bisa juga bersikap lembut.
Dari pengalaman yang didapat anak akan mempunyai bukti bahwa apa yang ditakutkannya tidak terjadi. Rasa berani yang tumbuh berdasarkan bukti tersebut bisa ditularkan pada situasi dan kondisi lain yang berbeda.
* Lingkungan memberi contoh
Tunjukkan pada anak apa yang ditakutinya. Kalau misalnya, anak takut badut, tunjukkan bahwa badut adalah sosok baik hati dengan mengelus atau mengajaknya bersalaman. Kalau perlu minta si badut membuka kostumnya agar anak melihat bahwa si badut sebenarnya orang biasa seperti ayah dan ibunya.
* Beri pujian
Bila tampak ada kemajuan dalam diri anak dan ia bersikap lebih berani, tentu orangtua perlu memujinya. Sebaliknya kalau anak belum berani, jangan meremehkan rasa takutnya. Meremehkan perasaan anak sama sekali tidak membantunya mengalahkan rasa takut.
* Jangan memaksa
Jika anak belum berani mengatasi rasa takutnya, jangan memaksanya harus berani saat ini juga. Lakukan saja pembuktian demi pembuktian bahwa apa yang ditakuti anak sebenarnya tidak beralasan. Semua ini memang perlu proses yang dilakukan secara berulang.
Akar Ketakutan USIA BATITA
* Si kecil belum dapat sepenuhnya berpikir logis.
Ia belum bisa membedakan mana yang masuk akal dan tidak. Apa yang dilihat dan didengarnya akan diserapnya sebagai sesuatu yang nyata.
* Imajinasi sudah berkembang.
Anak sudah bisa mengembangkan imajinasinya dengan begitu apa yang dibayangkannya akan memperbesar ketakutannya. Anak yang ditakut-takuti dengan sosok hantu akan membayangkan bahwa hantu itu membahayakan dirinya. Ini akan menambah kadar ketakutannya.
* Orangtua banyak melarang anak.
Sikap orangtua yang overprotektif membuat anak jadi mudah takut dan tak punya kesempatan bereksplorasi untuk membuktikan bahwa situasi sebenarnya aman-aman saja.
* Tertular lingkungan
Jika ibu takut kecoa, misalnya, dan ketakutan ini ditunjukkan di hadapan anak, maka kemungkinan anak pun meniru ketakutan ibu terhadap kecoa.
* Faktor trauma
Meski tak ada contoh, ketakutan bisa berawal dari rasa terkejut yang sangat. Anak yang kaget karena kejatuhan cicak yang tak bisa diam atau digonggong anjing yang menyeramkan, boleh jadi untuk selanjutnya takut terhadap cicak atau anjing.
HENTIKAN SEGERA!
Biasanya dilakukan oleh sang kakak atau orang dewasa lain karena senang melihat ekspresi si kecil yang dianggapnya lucu kala ketakutan. Biasanya sang kakak melakukan ini pun berdasarkan pengalaman yang dulu pernah didapatnya saat kecil.
Sering kali orangtua menakut-nakuti si kecil agar mau menuruti perintahnya. Salah satunya kebiasaan menyuruh anak-anak berhenti main di luar rumah saat magrib dengan alasan kalau hari gelap hantu-hantu mulai bergentayangan.
Dengan ditakut-takuti, anak-anak mungkin terlihat lucu atau patuh meskipun ia sendiri tidak mengerti benar apa yang harus ditakutinya. Sepintas kita merasa hal ini tak akan menjadi masalah. Padahal rasa takut yang terus bercokol pada diri anak akan membatasi keberanian bereksplorasinya. Akhirnya anak kehilangan kesempatan mengenyam pengalaman yang bermanfaat. Ia pun jadi tidak terbiasa berpikir logis.
Sumber : http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Membuat-Si-Penakut-Jadi-Berani
Oleh : Dedeh Kurniasih.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *