Adab Berbicara

Inilah adab berbicara menurut tuntunan ajaran Islam:
Pertama, semua pembicaraan harus kebaikan,

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (4: 114)

وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ

“Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (23:3)
Dalam hadits nabi shalallahu alaihi wa sallam disebutkan,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata baik atau lebih baik diam.” (HR Bukhari Muslim)
Kedua, berbicara harus jelas dan benar, sebagaimana dalam hadits Aisyah ra:

كَانَ كَلَامُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَامًا فَصْلًا يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ

“Bahwasanya perkataan rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam itu selalu jelas sehingga bisa difahami oleh semua yang mendengar.” (HR Abu Daud)
Ketiga, seimbang dan menjauhi bertele-tele, berdasarkan sabda nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا. وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ: قَالَ: الْمُتَكَبِّرُونَ

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat kelak, yaitu orang yang terbaik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat kelak, yaitu tsartsarun (banyak omong), mutasyaddiqun (memaksakan diri berfasih-fasih) dan mutafaihiqun”. Sahabat bertanya : “Ya, Rasulullah. Kami sudah mengetahui arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu apa arti mutafaihiqun?” Beliau menjawab, ”Orang yang sombong.” (HR at Tirmidzi, ia berkata: “Hadits ini hasan”. Hadits ini dishahihkan oleh al Albani dalam kitab Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 2018)
Keempat, menghindari banyak berbicara, karena kuatir membosankan yang mendengar, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Wa’il: Adalah Ibnu Mas’ud ra senantiasa mengajari kami setiap hari Kamis, maka berkata seorang lelaki: “Wahai abu Abdurrahman (gelar Ibnu Mas’ud)! Seandainya anda mau mengajari kami setiap hari
Maka jawab Ibnu Mas’ud:

أَمَا إِنَّهُ يَمْنَعُنِي مِنْ ذَلِكَ أَنِّي أَكْرَهُ أَنْ أُمِلَّكُمْ، وَإِنِّي أَتَخَوَّلُكُمْ بِالْمَوْعِظَةِ، كَمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِهَا، مَخَافَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا

Sesungguhnya yang menghalangiku melakukan itu adalah aku tidak ingin membuat kalian bosan, dan aku memilih waktu untuk memberi nasehat sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih waktu untuk kami karena khawati kami bosan. (HR Muttafaq ‘alaih)
Kelima, mengulangi kata-kata yang penting jika dibutuhkan. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَكَلَّمَ بِكَلِمَةٍ أَعَادَهَا ثَلاَثًا، حَتَّى تُفْهَمَ عَنْهُ، وَإِذَا أَتَى عَلَى قَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ، سَلَّمَ عَلَيْهِمْ ثَلاَثًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berbicara terkadang mengulanginya sebanyak tiga kali sampai dipahami, dan jika mendatangi satu kaum kemudian memberi salam kepada mereka maka Rasulullah mengucapkan salam tiga kali. (HR Bukhari)
Keenam, menghindari mengucapkan yang bathil, berdasarkan hadits nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ، أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ

“Sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat, ia tidak memikirkan kandungannya, akan menyebabkan ia terjerumus ke dalam neraka, lebih jauh dari jarak antara timur dan barat”. (Sahih Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,

إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat yang diridhai Allah, tanpa ia pikirkan, menyebabkan Allah mengangkat derajatnya. Dan sungguh seorang hamba berbicara satu kalimat yang dimurkai Allah, tanpa ia pikirkan, menyebabkan ia terjerumus ke dalam neraka jahannam”. (Sahih Bukhari)
Ketujuh, menjauhi perdebatan sengit, berdasarkan hadits nabi dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً

“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat): ‘Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja’” (Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah)
Dan dalam hadits lain disebutkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ

“Aku menjamin sebuah rumah di pinggir jannah (surga) bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan berkepanjangan meskipun ia dalam kebenaran (al haq), juga sebuah rumah di tengah jannah bagi siapa saja yang meninggalkan berbohong walaupun ia sedang bercanda, serta sebuah rumah di puncak jannah bagi siapa saja yang berakhlak mulia.” (HR. Abu Dawud, Dinyatakan Hasan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Kedelapan, menjauhi kata-kata celaan, melaknat, keji dan kotor berdasarkan hadits dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

لَيْسَ اْلمـُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَ لَا اللَّعَّانِ وَ لَا اْلفَاحِشِ وَ لَا اْلبَذِيِّ

“Bukanlah seorang mukmin orang yang suka mencela, orang yang gemar melaknat, orang yang suka berbuat/ berkata-kata keji dan orang yang berkata-kata kotor/ jorok”. (HR at-Turmudziy: 1977, al-Bukhari di dalam al-Adab al-Mufrad: 312, Ahmad: I/ 404-405 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih).
Kesembilan, menghindari berbohong untuk sekedar membuat orang tertawa , berdasarkan hadits dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ»

“Kecelakaan bagi orang yang bercerita kemudian berbohong untuk membuat orang-orang tertawa, kecelakaan baginya, kecelakaan baginya” (HR. Abu Daud)
Kesepuluh, menghindari menceritakan aib orang dan saling memanggil dengan gelar yang buruk,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.(49: 11)
Makna kalimat: Jangan mencela dirimu sendiri.” maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
Kesebelas, menghindari dusta, berdasarkan hadits nabi SAW:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR Al-Bukhari)
Keduabelas, menghindari ghibah dan mengadu domba, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ.

“Apakah kalian tahu, apakah ghibah itu?” Mereka menjawab, “Allah dan RasulNya lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Kamu menyebutkan tentang saudaramu dengan pembicaraan yang dia benci.” Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana pendapatmu bila pada diri saudaraku memang benar apa yang aku ucapkan”. Beliau bersabda, “Jika pada dirinya memang benar apa yang kamu ucapkan, maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya, dan jika tidak benar ada pada dirinya apa yang kamu ucapkan, maka kamu telah melakukan tuduhan dusta padanya.” (HR. Muslim)
Dari Hudzaifah radiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ.

“Tidaklah masuk surga orang yang suka mengadu domba.” (HR. al-Bukhari)
Ketigabelas, tidak berlebih-lebihan dalam memuji, berdasarkan hadits nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, dari Abdurrahman bin abi Bakrah dari bapaknya berkata,

أَنَّ رَجُلاً ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم، فَأَثْنَى عَلَيْهِ رَجُلٌ خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ : صلى الله عليه و سلم: وَيْحَكَ! قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ (يَقُولُهُ مِرَارًا) إِنْ كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا أَخاَهُ لاَ مَحَالَةَ، فَلْيَقُلْ: أَحْسِبُ كَذَا وَكَذَا إِنْ كَانَ يَرَى أَنَّهُ كَذلِكَ- وَحَسِيْبُهُ اللهُ، وَلاَ يُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا.

“Bahwasanya seseorang di sebut-sebut di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka seorang laki-laki memujinya dengan kebaikan. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Celakalah kamu, kamu telah memotong leher temanmu,’ (beliau mengatakan berulang-ulang), ‘apabila salah seorang dari kalian memuji saudaranya dan itu memang harus ia lakukan, maka dia bisa berkata, ‘Saya kira demikian dan demikian apabila diduga memang demikian dan yang menghisabnya adalah Allah, dan janganlah dia memastikan kesucian pada seseorang kepada Allah’.” (HR. Bukhari)
Dari Abu Musa al-Asy’ari radiyallahu ‘anhu, dia berkata,

سَمِعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم رَجُلاً يُثْنِي عَلَى رَجُلٍ وَيُطْرِيهِ فِي الْمِدْحَةِ، فَقَالَ: أَهْلَكْتُمْ (أَوْ قَطَعْتُمْ) ظَهْرَ الرَّجُلِ.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki memuji seorang laki-laki dan berlebih-lebihan dalam memujinya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kamu telah mencelakakan (atau, mematahkan) punggung laki-laki tersebut’.” (HR. Bukhari)

Sumber : http://www.al-intima.com/nasehat/mari-mengulang-pelajaran-tentang-adab-berbicara

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *