Polosnya Anak-anak

Saat saya memperhatikan anak-anak bermain di halaman sekolah dari depan perpustakaan mungil kita, saya melihat ada yang bermain di tangga lantai satu sampai tiga, ada yang di masjid dan ada yang bermain di TK, maka saya melihat sesuatu yang menenangkan dan membuat saya takjub. Mereka bermain dengan nyaman, senang, ria dan gembira. Lupa semua keluh kesah dan permasalahan yang mereka miliki. Mungkin, inilah yang dimaksudkan saat itu mereka pada posisi Zona Alfa. Mereka berlari kesana kemari, berteriak, menendang bola, berkejaran, bergurau, membaca buku, bermain tali dan kartu dan sebagainya. Subhanalloh, saya membayangkan seandainya pembelajaran dirasakan nyaman bagi mereka pastilah mereka akan melahap semua pengetahuan dan ilmu yang diberikan. Ada di antara mereka sejam yang lalu bertengkar, tapi kemudian akur lagi. Itulah, kepolosan dan ketulusan hati mereka. Sucinya hati mereka.

Juga yang menjadi ketertarikan saya untuk merefleksikan di sini ialah, ketika saya menyaksikan kegembiraan dan keceriaan seluruh anak yang berada sekeliling saya. Ada puluhan anak, bahkan ratusan yang pagi itu bermain dengan suka citanya. Mereka dapat meluapkan seluruh jiwa dan raganya untuk bercanda. Bermain bola, tertawa lebar, dan tanpa ada sedikitpun beban yang dipikul di punda mereka. Alangkah indahnya kehidupan mereka, alangkah behagianya mereka. Mereka begitu menikmati kehidupan ini dengan sedemikian indah dan menyeluruh.

Lain halnya dengan kehidupan yang dilakoni oleh kebanyakan manusia dewasa, sangat jarang ditemukan atau barangkali malah sama sekali tidak pernah ada kebahagiaan yang sedemikian suci tanpa ada kesemuan. Kehagiaan yang tampak pada mereka rata-rata tidal murni sampai kelubuk hati yang paling dalam, ada sedidkit kesemuan di sana. Ini dapat dimengerti bahwa kebanyakan dari mereka atau bahkan semuanya ternyata memikul beban yang sangat beragam dan berat. Persoalan hidup mulai masalah keluarga, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah karir, masalah hubungan dengan berbagai pihak, dan segudang masalah lainnya, ternyata selalu menjadi beban bagi mereka.

Seandainya mereka itu tertawa, maka sesungguhnya tertawanya itu bukanlah mencerminkan keseluruhan jiwa raganya. Boleh jadi tertawa yang ditunjukkan oleh mereka justru hanya merupakan perbuatan yang dipaksakan, tidak murni dari hati nurani. Boleh jadi pula senyum yang kembangkan pada bibirnya, hanyalah senyum keterpaksaan, atau setidaknya sedikit terpaksa, atau kalau pada saat tertawa ataupun tersenyum memang sedang benar-benar ada kebahagiaan di sana, tetapi itupun tidak akan berlangsung lama, karena sebentar saja setelah itu persoalan-persoalan hidup sebagaimana yang tersebut di atas kembali akan menggelayuti pikiran dan hati mereka.

Sebaliknya orang yang hatinya bersih, pikiran, jiwa, dan nuraninya bersih, tentu kehidupannya akan tampak ceria dan bahagia, seperti yang ditunjukkan oleh anak-anak yang sedang bermain di kolam renang tersebut. Alangkah indahnya dunia ini, kalau kebanyakan manusia penghuni nusantara ini hatinya bersih, jiwanya bersih, dan pikirannya juga bersih. Dalam benaknya tidak ada lagi keinginan untuk berbuat maksiat, tidak ada lagi keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, dan hatinya, jiwanya, nuraninya, pikirannya dan seluruh konsentrasinya hanya diperuntukkan bagi kemanusiaan yang bermuara kepada keridlaan Allah SWT.

Lain dengan keceriaan yang ditunjukkan oleh anak-anak, semua begitu polos, murni dan total. Barangkali ini semua cerminan dari dalam diri nurani masing-masing orang. Kebersihan hati, pikiran dan nurani akan tercermin dalam kehidupan luar yang tampak dalam perilaku. Orang yang hati, pikiran dan nuraninya tidak bersih, tentu hal itu akan tercermin dalam kehidupan luarnya. Orang yang di dalam hatinya tersimpan berbagai penyakit hati yang kronis, semacam sifat iri, dengki, tamak, kikir, dan lainnya, tentu ini semua juga akan tercermin dalam sikap-sikapnya. Kalau sebagian diantara mereka mampu menutupi sifat-sifat tersebut dalam penampakan luarnya, tentu hal itu tidak akan lama, dan pada saatnya tentu akan kembali kepada sifat hakiki yang ada dalam dirinya.

Lalu, bagaimana dengan kita ? Peran guru adalah pelayan. Pelayan yang baik bagi siswa dan orang tua juga masyarakat demikian pula melayani dirinya sendiri. Saya yakin, tatkala kita menunjukkan keikhlasan, kepolosan seperti anak-anak itu, tanpa embel-embel yang lain saya yakin semuanya akan baik dan menjadi lebih baik.

Polos

Polos Juga

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *